Kamu dalam Stoples (6)
Judul : Kamu dalam Stoples (6)
link : Kamu dalam Stoples (6)
Kamu dalam Stoples (6)

BAB 6
A Dream is A Wish Your Heart Makes
“Adrian,” panggil Bianca pada lelaki yang sedang duduk manis di ruang tunggu dan pura-pura jadi pasien nomor buncit, wajahnya yang cantik tambah berseri memakai jubah putih.
“Hey!” seru Adrian mengangkat wajah dari game Temple Run di ponsel. “Aku lupa kasih tahu kamu.” Bianca lalu duduk di sam-ping Adrian. “Malam ini aku harus ke Bali. Besok ada seminar tiga hari,” lanjutnya dengan tatapan memelas.
“So—” Adrian menyilangkan kaki dan merentangkan tangan di atas kursi, memiringkan tubuhnya menghadap si peri gigi.
“No dinner tonight. Harus pergi sekarang. Sorry,” ujar Bianca pelan. “Oh, ya sudah, aku antar ke airport sekarang.” Adrian berdiri dan bersiap pergi.
Dokter gigi yang hobinya pakai rok pendek itu ikut berdiri lalu menggamit lengan Adrian dan mengeluarkan raut muka bersalah. Sebenarnya dia sudah packing sejak semalam, cuma mau buat drama saja malam ini dengan Adrian.
“Sopirku sudah datang,” katanya. Adrian mengangkat bahu. “Okay. Have a nice and safe trip! Nanti pulangnya bawain pie susu sekotak gede!” Adrian bercanda lagi.
Bianca tersenyum, mengalungkan kedua lengannya ke leher lelaki itu, berciuman sesaat lalu mengusap punggung Adrian sebagai tanda perpisahan.
Gosh! I should’ve not enjoyed this! Damn! Walau terlena, Adrian memaki dirinya sendiri karena tak bisa menghindar dari Bianca. Kebiasaan ini harus dihentikan, kita nggak bisa terus begini.
--------
Baru jam delapan malam, Adrian berpikir apa sebaiknya dia ke Miss Fox saja. Ngapain? Eng, ngucapin selamat sama si Nona Rubah karena gambarnya dimuat di Majalah Bambini minggu lalu, terus pamer kalau sudah selesai membaca dua buku Dahl, terus apa lagi ya… ah ya, daftar untuk bisa nonton hari Minggu di Miss Fox. Tapi apa Miss Fox masih buka?
Ini yang namanya semesta mendukung, lelaki itu menyeringai lebar lalu mengucap syukur dalam hati. Perjalanan dari klinik gigi Bianca ke Miss Fox cuma empat puluh menit saja tanpa halang rintang kemacetan ibukota, good God!
“Hey mate!” Ben menyimpan rasa kagetnya secepat kilat setelah menyadari siapa yang datang. Adrian menyeringai kemudian membalas high five Ben. Kenapa Ben ada di sini?
“Katanya mau dinner?” Nada dan tatapan Ben penuh selidik, tubuh tegapnya seperti makin sebesar Hulk. Adrian mengambil kursi di samping Ben di meja bar. “Enggak jadi, dia ada seminar di Bali.”
Lalu menyunggingkan seulas senyum membalas sapaan Noura yang sedang berbicara dengan seorang pria muda kurus berkacamata tak jauh dari meja bar. Ada bando model kepang menghiasi rambut ombaknya yang digerai melayang sampai ke bahu, tiered top—blus rumbai putih, jins biru tua, dan sepatu datar hitam senada dengan bandonya, biasa saja tapi bos kafe aneh ini cukup manis buat Adrian malam ini.
Ben batuk terpaksa, dan Adrian menyadari suara batuk yang seperti itu, biasanya memiliki makna 'jangan deketin cewek itu gue lihat dia duluan', kalau mereka sedang hang out di club.
Padahal selera keduanya sangat berbeda dalam memilih perempuan; Ben cenderung tertarik pada wanita yang irit dalam berpakaian, satu hal yang menurut Adrian hanya cukup dipandang sesaat; sementara bagi si penikmat awan, perempuan yang simple itu lebih menarik; ada ruang imajinasi dan rasa ingin tahu tersisa di sana.
“Big brother Ben,” ledek Adrian sambil pura-pura mengecek ponsel. “Tuh, mobil si Noura ngadat nggak mau jalan. Jadi berhubung gue satu-satunya keluarga yang available di sekitar dia, jadilah gue harus nganter dia pulang,” jawab Ben kemudian meneguk kopinya menunda rasa ingin keluar ruangan untuk merokok.
“Hemm, anyway gimana kelanjutan cerita lo sama sekretaris si Batosai?” Adrian mengalihkan topik. Batosai adalah panggilan untuk bos seperempat Jepang mereka di kantor. Nama aslinya Kenshin Prawira Dirja.
Ben mengangkat bahu, malas menjawab. Sekertaris Mr. Kenshin agak jual mahal, pesan teks di BBM darinya cuma dibaca dan tak kunjung dibalas. Klise.
“Hey, you Mister Cloud! Apa kabar?” Noura menepuk lengan pria yang duduk di samping Ben. Adrian mengacungkan ibu jarinya pertanda oke.
“Dri, cowok yang ngobrol sama aku barusan tadi namanya Ezra, si penggemar Jhon Green yang pernah kuceritakan waktu itu. Eh iya, gimana pesta ulang tahun ibumu kemarin?” kicau Noura.
Kedua alis Adrian bertaut. Ulang tahun? Siapa? Oh itu! Mulutnya membulat kemudian bilang kalau ibunya senang menerima bunga lily, dan dia juga membeli hydrangea warna ungu tak lama setelah Noura dan Ben pulang, lalu sekarang jadi terobsesi mau menanam tanaman unik itu. Sekali ber-bohong, tak sulit untuk melakukannya lagi.
Noura bertepuk tangan kegirangan mendengar obsesi baru ibu Adrian, kemudian menawarkan minum yang dia tahu kesukaan si Tuan Awan di depannya. “Ice Milo?”
Ben tertawa menghina sampai poninya bergoyang. “So this Heineken Guy sudah bertransformasi jadi Milo Guy.” Ben pun mulai membuka tabir masa lalu kalau Adrian pernah jadi Pria Heineken atas nama bir kesukaannya, tapi cuma mau minum seukuran kemasan paling minimal.
”Itu juga nggak habis, palingan beberapa teguk. Takut mabuk. Cemen banget.” Ben terkikik.
“Aku sudah pensiun menjabat takhta Heineken Guy,” ucap Adrian pada Noura yang berpartisipasi menertawainya. Dia memang takut mabuk, takut curhat tanpa ingat apa-apa.
“Oh iya, kalau kata ibu kamu nanti pas mati bisa langsung masuk neraka karena mabuk, kan?” kata Noura. Ben bersiul; cepat sekali kawan dan saudaranya ini akrab—Adrian jarang menceritakan tentang keluarganya. Diperhatikannya Adrian yang mengelus-elus kepala karena merasa dipermalukan. Tak lama kemudian si objek penderita.
--------
Bianca menutup telepon, dalam hati mengeluh kalau bandara masih jauh. Merasa ingin kembali lagi, tak usah ke Bali. Tapi tak mungkin. Acara seminar ini penting juga untuk kariernya. Tadi Adrian sedang ada di mana? Bianca teringat ucapan Adrian barusan kalau dia sedang berada di suatu kafe dengan Ben.
Oh, itu kafe yang dia pernah menjemput Adrian minggu lalu dan namanya unik itu. Hmm, kalau sama Ben tak apa lah, bukan dengan perempuan lain, kan?
Sambil memandangi lampu kota menuju bandara Bianca teringat pertemuan pertama dengan lelaki kesayangannya. Adrian bukan lelaki biasa. Dia pahlawan yang kutu buku.
Saat itu hari Senin pagi. Bianca terlambat datang ke sekolah. Gadis itu tergopoh masuk barisan. Harusnya dia dilarang masuk hingga upacara bendera usai, namun si penjaga sekolah luluh dengan tampang memelas si cantik. Seseorang melirik, menaikkan satu alis memandang si penyelundup barisan upacara yang tergesa.
Bianca merapikan rambut sebahunya, berusaha berdiri rapi. Dia lalu menoleh ke sebelah kanan, seseorang menunjuk lengannya pelan. “Ya?” Bianca membuka mulut.
Dia, lelaki langsing dan jangkung sekitar 175 senti dengan satu tangan di dalam saku celana abu-abu, rambutnya berantakan bukan karena sengaja dibantu sentuhan jeli, memang asli kusut, sepertinya lupa sisiran sebelum berangkat ke sekolah, atau bisa jadi terlambat juga.
Si rambut kusut menunjuk ke bawah, “Itu, tali sepatunya lepas. Nanti kesandung.” Bianca tertegun, memerhatikan sepatu keds-nya, kemudian segera merunduk membetulkan jalinan tali.
“Thanks,” ujarnya dengan kepala tengadah. Cowok itu diam, perhatiannya beralih karena sesuatu. Lalu lapangan menjadi riuh dengan sorak-sorai dan tepuk tangan. Si Jangkung yang baru saja menyelamatkan hidup Bianca dari kemungkinan tersandung itu tak lama kemudian berada di depan bersama Kepala Sekolah; menerima sebuah trophy dan dikalungi medali.
Ternyata minggu lalu dia menjuarai Olimpiade Matematika se-Jakarta raya. Namanya Adrian Jenaro Riga, dari kelas 2-1, begitu yang didengar Bianca dari ucapan bangga Pak Kepala Sekolah.
Sejak itu, Bianca sering melihat si juara olimpiade di lapangan basket, perpustakaan, taman, atau di sudut kelas dekat jendela dengan buku, sebatang pensil di tangan, dan headset MP3. Dia terlihat menarik cenderung misterius; karena walau ada di antara sekelompok teman-temannya, dia tetap terlihat asyik sendiri.
Bianca saat itu baru pindah sekolah; cantik dan langsung populer, tak berbeda dengan di sekolah lamanya dulu. Dia hanya ingin hidup damai di tempat baru, tanpa harus di-bully kakak kelas yang iri.
Jadi, bagaimana rasanya bersama dengan seseorang yang terlihat suka menyendiri? Didekatinya si anak pintar itu di lapangan basket yang baru usai beradu three point.
Gadis jelita itu terkejut, Adrian tak seperti anak kutu buku kebanyakan yang biasanya canggung dan pemalu dengan perempuan. Dia cukup socialable dan romantis.
“Aku suka kamu, Adrian. Seru aja dekat-dekat kamu. Kalau kamu nggak punya pacar, mau jadi pacarku?” Bianca malu-malu memandang Adrian, lalu kembali memandangi buku matematikanya.
Adrian berhenti menghitung rumus fisika. Diperhatikan-nya cewek cantik dengan pipi bersemu merah jambu di hadapan. Siswi populer di sekolah ingin menjadi pacarnya?
“Oh, eng… ya. Aku juga suka dekat-dekat kamu.” Seulas senyum terbit. Baiklah, nggak ada salahnya nyoba pacaran dengan cewek ngetop di sekolah. Ini semacam film Hollywood, apa pun alasan dia, I don’t mind. Kesempatan nggak datang dua kali, kan? pikirnya.
Bianca menatap Adrian tak percaya. Semudah itu? “Jadi sekarang, kita pacaran?” Bianca mendadak merasa seperti gadis lugu.
“Kue ini manis banget, kayak kamu. Kata tulisan di etalase itu tadi namanya pie custard fruit. Ya, Custard, kita sekarang pacaran,” kata Adrian membalas tatapan Bianca dengan senyum yang sulit dilupakan gadis itu.
Dan bulan-bulan berikutnya, semua berjalan semanis teh di sore hari, sampai suatu ketika Bianca merasa harus memutuskan hubungan. Dia melihat Adrian duduk bersisian di perpustakaan; mengajarkan persamaan linear pada salah satu anak cheerleader yang tak punya otak–menurut gosip yang didengarnya di toilet sekolah.
Si gadis pemandu sorak mengeluh betapa sulit dia memahami matematika. Adrian lalu mulai memberi tahu cara terbaik menyelesaikan hubungan antara X dan Y.
Adegan sebiasa itu menganggu Bianca. Tiba-tiba dia duduk di depan mereka. “Sini, aku yang ajarin,” katanya pada si cewek-tak-punya-otak-menurut-gosip-toilet perempuan- sambil merebut buku dan pensil dari tangan pacarnya. Dia tidak menyukai pemandangan Adrian dan si cheerleader.
Bianca memasang muka serius terbakar cemburu. Setelah privat singkat matematika itu bubar dia membuat keputusan.
Adrian memandang heran gadisnya. Lalu menyetujui perpisahan mendadak di antara mereka.
Bianca terdiam. Semudah itu? Rasa sesal menyelinap, sebab setiap kata yang diucapkannya barusan hanya ungkapan kesal semata dan tak percaya Adrian tak berjuang untuknya.
Beberapa lama sejak itu, Adrian mulai kencan dengan adik kelas yang sayangnya segera diselingkuhi dengan anak basket berpostur lebih bagus sejuta kali.
Bianca juga punya kisah sedih serupa. Bagai lem dan kertas yang kembali bertemu, mereka menempel lagi hingga kelulusan diumumkan.
Bianca tak bisa berhubungan sejauh Singapura-Jakarta; Adrian memutuskan mengambil beasiswa di negeri Singa sementara Bianca kuliah kedokteran gigi di Jakarta.
Baginya tak aman menjalani hari-hari perkuliahan di masa muda yang bebas tanpa Adrian di sisinya, potensi perselingkuhan sangat besar, bilangnya.
Mereka selalu punya pola yang sama, Bianca tahu Adrian akan selalu ada untuknya di situasi tak bersahabat sekalipun. Meskipun begitu si mantan pahlawan sekolah tak semudah itu meninggalkan pacarnya demi Bianca; dia pasti jujur kalau sedang punya hubungan dengan seseorang.
Bianca menghargai semua itu walau seringnya berhasil membuat hubungan Adrian dan pacar terkininya bubar, lalu setelah itu dia akan pura-pura memberi empati. Gadis itu tak suka kalau dia sedang sendirian sedangkan Adrian tidak.
“I’m fine, Custard. Lagi pula sudah waktunya putus. Nothing lasts forever, no worries.” Seringai tipis terbit di wajah Adrian, menyadari lama-kelamaan keahlian gadis di depannya mengalami banyak kemajuan.
Betapa waktu sudah menunaikan tugasnya dengan baik mengubah seseorang. Adrian memang banyak berubah; dari seorang anak berseragam putih abu-abu yang rajin belajar dengan badan sangat biasa menjadi dirinya yang sekarang; lebih enak dipandang dan charming. Namun tetap saja tak pernah bisa lama bersama seorang perempuan karena dia juga memang malas memainkan hatinya terlalu dalam—dia menganggap itu bagian dari win win solution.
Bianca menghela napas, menyenderkan kepala di kaca mobil sambil berpikir apakah kali ini mereka akan bersama lagi, atau sebentar saja seperti biasa karena sedang sama-sama sendirian.
------
“Ini apa?” Adrian menunjuk stoples bening berisi beberapa gulungan kertas warna kuning muda di atas meja bar kayu dengan tag Phizzwizard yang menempel di badan stoples.
“Ayo tebak. Kalau sudah selesai baca The BFG, pasti tahu apa ini.”“Phizzwizard, eh, itu kan golden dreams di cerita BFG. Jadi, ini stoples ala si raksasa baik dan ramah itu?” Adrian berseru riang, matanya berkilat memandang stoples dan perempuan di depannya.
Noura mengangguk dan langsung menjelaskan itu adalah stoples mimpi. Customer yang sudah rutin berkunjung bisa menuliskan sebuah khayalan lalu dimasukkan ke dalam stoples itu. Setiap Sabtu pertama di awal bulan Noura akan mengambil satu kertas mimpi secara acak disaksikan customer yang datang. Khayalan terpilih akan dipasang di notice board di samping papan menu, dan khayalan itu akan segera diwujudkan semampunya oleh Miss Fox.
“Bulan lalu, khayalannya vokalis The Brachiosaurus yang kepilih. Dia mau bawain lagu-lagu tahun 70-an, terus penontonnya harus bergaya seventies juga. seru deh, Dri! Kita semua bergaya kayak Beatles, Jackson 5, pakai celana cutbray, Afro look….” Noura bercerita seru kisah si cowok vokalis band berwajah penuh jerawat, kemudian menaruh setumpuk post it kuning muda dan sebuah pulpen hitam di atas meja.
“Nanti kamu juga tulis ya, Dri, khayalan apa yang kamu mau Miss Fox buat jadi kenyataan! Terus jangan lupa tulis nama sama email.”
Adrian tenggelam bersama cerita Noura yang asyik. Dia tak menyangka kalau isi kepala perempuan ini semacam taman bermain; seru.
“Kamu makan apa, sih? Kayaknya kepalamu isinya ajaib banget,” kata Adrian tak tahu harus begaimana memuji si Nona Rubah yang menakjubkan ini.
“Oke, nanti aku pikirin dulu khayalan apa yang bakalan jadi nyata di tangan Miss Fox,” sambungnya dengan seringai jahil membayangkan beberapa gagasan di kepala.
“Jangan ide yang aneh ya, maksudku ide yang ada di kepala kamu itu akan kutolak mentah-mentah!” seru Noura bagai bisa membaca pikiran Adrian.
Adrian terbahak. “Kamu nggak berguru sama mentalist terkenal se-Indonesia itu, kan? Sampai bisa baca pikiranku.”
Noura merengut, mengibaskan rambut ikalnya dengan kesal.
“Nggak perlu berguru sama mentalist, aku juga sudah tahu kali, Dri. Cowok di mana-mana sama aja.” “Masa? Beda lah, kalau Ben tuh iya, masuk kriteria cowok-di-mana-mana-sama-aja. Ya kan, Ben?” Adrian menoleh meledek Ben yang sedari tadi tak terdengar suaranya.
“Oh, gue diajak gabung ke dunia lain, nih,” canda pria yang cenderung memilih warna lembut dalam berpakaian itu sambil mengelus dagunya yang licin. Sejak tadi dia merasa seperti ditutupi tabir sampai-sampai Adrian dan Noura mengabaikannya.
Sementara Adrian mengutuki perangai Ben mulai dari pagi hingga detik barusan padanya. Noura memandang sepupunya dengan sayang, “Kan seperti kamu bilang Ben, aku dan Adrian ini orang aneh. Sorry then, cousin.”
Ben mengulur waktu ke luar kafe, memainkan peran seorang kakak yang mengawasi adik perempuan bermain dengan teman barunya yang kebetulan lelaki—jadi harus diawasi. Dirinya lebih tua tiga tahun. Mereka besar bersama, gadis itu selalu jadi anak titipan di rumah Ben kalau orang tua Noura bertugas ke luar kota.
Diperhatikannya kedua sosok di hadapannya sedang menertawakan hal yang hanya dimengerti mereka sendiri. Dunia yang sangat berbeda. Ben mengenang kalau kawan satu apartemennya dulu di Pandan Valley memang punya beberapa pacar, namun sulit mendapatkannya sedang mengobrol seru dengan salah satu di antaranya; lebih banyak si lelaki agak setengah melamun walau sedang bersama si perempuan, atau mereka sibuk dengan aktivitas lain.
“Noura masih beres-beres. Bisa setengah jam lagi dia baru ready pulang. Gue ngerokok dulu di luar!” ujar Ben pada Adrian yang masih duduk sambil mengecek ponsel dan bilang kalau dia akan menyusul keluar.
“I think I need one!” Adrian meraih kotak Marlboro Ice dari tangan Ben yang terkejut, mengambil sebatang lalu mulai menyalakannya. “Gue sudah dapat ide buat proyek madu DiaVit itu!”
Saat mengembuskan asap berbentuk o dari mulut dia menyeringai menyambut awan ciptaannya sambil meyakin-kan diri kalau tadi sudah memasukkan selembar khayalan ke dalam stoples golden dreams.
Teaser Bab Selanjutnya.
Noura mengacungkan ibu jarinya, menyerahkan semangkuk berondong jagung keju kedua yang dimasaknya di microwave ketika Adrian sedang mengunduh film, dan sebuah kaca mata hitam.
Demikianlah Artikel Kamu dalam Stoples (6)
Anda sekarang membaca artikel Kamu dalam Stoples (6) dengan alamat link http://petuahmuda.blogspot.com/2017/06/kamu-dalam-stoples-6.html
Post a Comment