Header Ads

Spesial Hari Bhayangkara; Polisi Melawan Kejahatan 4.0

Spesial Hari Bhayangkara; Polisi Melawan Kejahatan 4.0 - Hallo sahabat Petuah Muda, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Spesial Hari Bhayangkara; Polisi Melawan Kejahatan 4.0, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Spesial Hari Bhayangkara; Polisi Melawan Kejahatan 4.0
link : Spesial Hari Bhayangkara; Polisi Melawan Kejahatan 4.0

Baca juga


Spesial Hari Bhayangkara; Polisi Melawan Kejahatan 4.0

PADA 8 Juni lalu, Polda Jawa Timur menangkap seorang santri salah satu pondok pesantren di Pasuruan. Burhanudin namanya. Dia ditangkap karena diduga menghina Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Polisi M. Tito Karnavian.

Tindakan penyebaran kebencian itu dilakukan Burhanudin dengan mengunggah meme bergambar dua pejabat negara tersebut. Selain gambar yang dipelesetkan, dia menambahkan tulisan yang bernada menghina. Hal itu dilakukan sejak tiga bulan terakhir di akun Facebook-nya, Elluek Ngangenie.

Yang menjadi persoalan adalah meme Presiden Jokowi dan sejumlah pejabat dengan olah gambar yang tidak pantas dan bersifat menghina. Juga mengandung fitnah.

Burhanudin mengaku hanya membagikan meme-meme tersebut. Dia tidak membuatnya sendiri. Pria 21 tahun itu pun dengan gamblang menjelaskan posting-an meme-meme tersebut. ”Saat buka Facebook, saya terpengaruh teman-teman media sosial. Ada yang saling menjelek-jelekkan antara Islam dan Kristen,” tuturnya. ”Ya, saya sendiri ikut-ikutan marah,” imbuh pria yang tinggal di Desa Mangguna, Kecamatan Pasrepan, Kabupaten Pasuruan, itu.

Burhanudin tidak bisa mengelak. Ujaran yang dianggap tak pantas serta menghina kepala dan pejabat negara punya konsekuensi hukum. Dia dijerat pasal berlapis. Pertama adalah pasal 27 ayat (3) UU 11/2008 tentang ITE. Juga pasal 134 KUHP.

Akhir-akhir ini UU ITE seolah menjadi senjata utama kepolisian untuk melakukan upaya penegakan hukum. Jika salah bertindak di internet, siap-siap dicokok.

Ketua Pusat Studi Antikorupsi dan Kebijakan Pidana FH Unair Iqbal Felisano menilai, fenomena tersebut membuktikan bahwa pembentukan UU ITE bagai makan buah simalakama. Artinya, di satu sisi, UU ITE diciptakan untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku bisnis. Namun, dalam pelaksanaannya, polisi kerap menggunakan pasal 27 dan 31 saja. Terutama terkait pencemaran nama baik dan penyadapan.

Ada 118 orang yang terjerat UU ITE sejak 2008. Sebanyak 90 persen di antaranya terkait dengan pencemaran nama baik. Iqbal pun melihat hal itu sebagai upaya overcriminalization. Tidak hanya itu, UU ITE kerap menjatuhkan masyarakat yang tidak paham betul tentang UU yang baru direvisi pada 2016 tersebut. ”Masyarakat belum siap. Tidak semua masyarakat bisa berhati-hati dalam berpendapat di internet,” ujarnya.

Penerapan hukumnya juga kurang tepat. Meski sudah ada revisi. Yaitu, terkait pemotongan ancaman pidana dari enam tahun menjadi empat tahun. Namun, menurut dia, hal itu tidak menyentuh substansi masalahnya. ”Sehingga masih jadi langganan,” sesalnya. Malah, penerapan pasal 27 semakin banyak.

Menurut dia, polisi harus mendahulukan upaya preventif. Masyarakat harus disiapkan. Tidak lantas kebebasan berekspresi dibatasi. Di sisi lain, masyarakat juga harus tahu batasnya. Penyampaian kritik atau saran harus lebih santun. ”Ini cukup sulit karena polisi tidak boleh mendahulukan penindakan. Unsur pembinaan harus diutamakan,” paparnya.

Selain itu, banyak kesulitan teknis lainnya. Misalnya, bagaimana jika ada seseorang yang diretas akunnya, lalu diunggah gambar provokatif. Jika peretasnya tidak kena, siapa yang bertanggung jawab? Jika pemilik akun tidak bisa dijerat, timbul persoalan lain. Semuanya tinggal bilang, akunnya sedang diretas. Maka, tidak dapat dihukum.

Sementara itu, pakar komunikasi digital Profesor Rachma Ida menganggap cyber crime sudah merambah negara sebagai institusi politik. Perkara Wikileaks menjadi salah satu contoh. Keamanan negara bisa kapan saja diretas dan dijebol.

Begitu juga di tingkat individu. Tidak hanya data diri yang diperjualbelikan. Tetapi, juga ada perampokan secara online. ”Biasanya diawali dengan petty crime, seperti berita bohong atau e-mail hacking,” jelasnya.

Khusus untuk fenomena ujaran kebencian yang melanda, dia menganggap bahwa itu merupakan konsekuensi dari adanya dunia cyber. Yaitu, lahirnya demokrasi model baru. Dunia cyber dianggap sebagai ruang publik baru yang menawarkan kebebasan berpendapat. Orang bisa berbicara apa saja.

Pelakunya adalah digital migrant. Atau orang yang sudah cukup umur ketika era digital ini datang. ”Banyak yang menuduh kegaduhan ini berasal dari anak-anak muda. Menurut saya, bukan mereka,” ujarnya. ”Orang-orang dewasa yang tidak bisa lagi diwadahi media mainstream itulah justru yang jadi provokator,” urainya.

Namun, dia tidak sepenuhnya menyalahkan. Menurut dia, norma di dunia cyber tetap harus dibedakan. ”Siapa pun tidak bisa menyangkal bahwa media sosial sangat berpengaruh terhadap panasnya situasi politik yang ada. Harus ada shock therapy untuk itu,” tegasnya.

Jika melihat perbandingan personel kepolisian dengan luasnya jagat internet saat ini, rasanya sangat berat. Solusinya, masyarakat harus dilibatkan dalam upaya penegakan hukum. Polisi bisa membangun sistem pengaduan online terpadu. Mekanismenya dipermudah. Tidak harus datang ke kantor polisi untuk mengadu. ”Kalau masalahnya kecil, seperti cyberbullying, bisa diselesaikan melalui mekanisme second layer dari kepolisian,” terangnya. ”Bikin sistem yang bisa otomatis memblokir akun/website yang melakukan kejahatan,” jelasnya.

Setiap masalah punya kanal sendiri. Dengan begitu, penanganan perkara akan lebih efisien. Masyarakat juga diajak untuk aktif. Individu diajari untuk menanggulangi kejahatan. Hal semacam itu sudah diterapkan di Kanada. ”Nanti polisi juga harus membuat guideline. Masyarakat tinggal mengikuti,” urainya.

Menurut Ida, mayoritas warga sudah melek teknologi. Sudah mampu menjalankan instruksi-instruksi sederhana di internet. Polisi tidak perlu turun ke jalan untuk sosialisasi. Sasarannya konsumen dan produsen. ”Misalnya, untuk meminimalkan penipuan transaksi online, polisi bisa buat lisensi yang wajib dimiliki toko online,” paparnya.

Namun, polisi harus turun langsung ketika masuk kategori kejahatan besar. Meski tanpa aduan, ketika mengancam sistem secara luas, harus segera ada tindakan. Apalagi jika terkait kepentingan publik yang lebih besar, pelakunya harus dipidanakan. ”Kalau berat, harus ditindak langsung,” tegasnya.

Jadi, dari pernyataan sejumlah elemen masyarakat itu, yang dibutuhkan adalah kebijakan polisi. Tahu bagaimana dan kapan mengambil tindakan ketika hawa di media sosial tengah panas dan full provokasi. Juga tahu kapan harus menahan diri. Sebab, tindakan polisi yang tidak tepat justru kerap memunculkan reaksi balik dari masyarakat yang lebih panas. (aji/c6/ano)

Sumber: jawapos.com


Demikianlah Artikel Spesial Hari Bhayangkara; Polisi Melawan Kejahatan 4.0

Sekianlah artikel Spesial Hari Bhayangkara; Polisi Melawan Kejahatan 4.0 kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Spesial Hari Bhayangkara; Polisi Melawan Kejahatan 4.0 dengan alamat link https://petuahmuda.blogspot.com/2017/06/spesial-hari-bhayangkara-polisi-melawan.html
Powered by Blogger.