Header Ads

Terjang Ombak 2 Meter di Bawah Suramadu

Terjang Ombak 2 Meter di Bawah Suramadu - Hallo sahabat Petuah Muda, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Terjang Ombak 2 Meter di Bawah Suramadu, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Terjang Ombak 2 Meter di Bawah Suramadu
link : Terjang Ombak 2 Meter di Bawah Suramadu

Baca juga


Terjang Ombak 2 Meter di Bawah Suramadu

BEGITU Alfonso Reno merampungkan kalimatnya bahwa dirinya baru pertama nyetir jet ski, pegangan mulai saya eratkan. Badan juga mulai saya rapatkan. Demi keselamatan. Ingin rasanya tidak meninggalkan sedikit pun ruang yang memisahkan antara saya dan Reno.

Apa daya, ada jeriken bahan bakar yang menghalangi. Tutup jeriken dan dengkul saya juga mulai beradu. Aduh! Perih saya rasakan akibat gesekan yang ditimbulkan antara kulit dan plastik.

Saya kemudian mencari cara untuk menyelamatkan diri. Cengkeraman tangan di pelampung Reno pun saya eratkan. Sayangnya, pelampung yang dikenakan pria asli Malang tersebut tidak dilengkapi dengan pegangan. Karena itu, saya hanya bisa memegang dengan erat tali yang mengeratkan pelampung tersebut.

Naik, turun, naik, turun. Ombak rasanya mulai mencium ketakutan saya. Tidak ada ampun, jet ski yang kami naiki pun diempaskan beberapa kali ke udara. Serasa ingin mempermainkan saya dan Reno yang saat itu sedang ketakutan.

Wajah kami mendadak kaku tak berekspresi. Reno yang biasanya lebih banyak bicara mendadak diam seribu bahasa. Sedangkan saya? Sibuk mengencangkan pegangan dan komat-kamit membaca doa.

Armand terkadang mengurangi kecepatan dan bersanding di sebelah kanan kami. Dia mengacungkan tangan kirinya ke depan. Pria yang tinggal di kawasan Gayungsari tersebut memberi tanda untuk menambah kecepatan. ”Ayo, kalau enggak cepat, bahan bakarnya akan cepat habis,” perintah Armand terdengar sayup-sayup di balik suara deburan ombak.

Reno yang ikut tegang tidak memalingkan wajahnya sedikit pun untuk menoleh pada Armand. Pria lulusan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang itu lebih berfokus ke depan. Dia lebih berfokus untuk tidak menenggelamkan kami berdua.

Debur ombak semakin ganas. Semakin kami menjauhi daratan, ombak kian gede. Moncong jet ski yang lancip sesekali memecah ombak. Air laut itu pun diarahkan ke berbagai arah. Termasuk mulut saya. Tak terhitung berapa kali saya menelan air laut. Indra pengecap pun diliputi rasa asin dari air laut. Namun, hal tersebut tidak saya hiraukan. Keselamatan saya jadikan prioritas utama.

Sampai di bawah Jembatan Suramadu, ombak setinggi 2 meter menghadang jet ski kami. Tanpa persiapan, ombak tersebut menghantam kami dengan seketika. Wuussss!!! Ombak itu membuat Reno dan saya terempas ke udara. Keseimbangan mulai goyah. Kaki yang saya pakai untuk berpijak terhalang jeriken bahan bakar. Alhasil, kami pun njungkel ke depan. ”Kalau jerikennya menghalangi, pindah ke belakang saja,” teriak pria yang kini tinggal di Jakarta itu.

Jeriken pun kami arahkan ke belakang. Permasalahan keseimbangan kami selesai ketika tali yang menghubungkan dua jeriken tersebut saya duduki. ”Nah kalau gini, kan aman,” celetuk Reno.

Setelah itu, naik-turun ombak sudah tidak menjadi masalah. Reno pun mulai mengikuti alurnya. Ombak laut yang tadinya ganas itu berhasil dia taklukkan.

Dengan mantap, Reno mengendalikan jet ski-nya mendahului Gregorius Agung, salah seorang anggota rombongan yang mengendarai jet ski. Juga Armand. Sesekali ajang kebut-kebutan mereka adakan di tengah laut. ”Tadi saya mau ketawa lihat wajah Pak Reno. Sudah berubah pucat enggak tahu mau apa,” seloroh Armand tiba-tiba.

Namun, problem mulai muncul. Jet ski yang dikendarai Agung tiba-tiba menghilang entah ke mana. Hal tersebut terjadi ketika masih seperempat perjalanan. Kami bahkan masih berada di perairan Surabaya. Tepatnya, 15 nautical mile (NM) dari awal kami meninggalkan daratan. Satu NM adalah 1.852 meter. Karena itu, jarak kami dari start awal sekitar 28 kilometer.

Di antara tiga jet ski yang meluncur, hanya ada dua yang terlihat berjalan seiringan. Yakni, jet ski bertipe FX SVHO yang ditumpangi Armand dan Piet van Kempen serta jet ski bertipe VX Deluxe yang ditunggangi Reno dan saya.

”Loh, ke mana si Agung?” ujar Reno. Hati mulai berkecamuk. Meskipun perjalanan hanya beberapa puluh meter dari daratan, pikiran buruk selalu ada. Saya ingat apa yang Piet pernah pesan kepada saya. Ketika tidak ada daratan di sejauh mata memandang, di situlah suasana hati akan seirama dengan ombak yang ditunggangi. Bergulung-gulung tak keruan.

Armand yang sejak tadi melaju begitu cepat mendadak berhenti. Dia kemudian berbalik arah. Sepertinya, bukan hanya saya dan Reno yang menyadari kehilangan Agung dari rombongan. Suasana pun mendadak siaga. Pandangan kami sebar ke semua arah. Selain sampah, kami hanya disuguhi dengan pemandangan air laut menyentuh langit.

Untungnya, kami berangkat dengan persiapan yang betul-betul matang. Tidak ada satu pun dari kami yang berangkat dalam keadaan tidak siap. Masing-masing kru di dalam jet ski dibekali dengan satu HT (handie talkie) dan satu GPS (global positioning system). Dengan demikian, dalam keadaan darurat, kami masih bisa melakukan kontak satu sama lain dan mencegah untuk tidak tersesat.

Reno kemudian berinisiatif untuk melakukan kontak dengan Agung yang berada di belakang. HT yang selama ini dia kaitkan di dada pun disahut dengan serampangan. ”Agung, posisi di mana Gung? ganti,” ucapnya dengan waswas.

Kata-kata yang sama diulang beberapa kali. Namun, Agung tidak juga membalas pertanyaan yang Reno lontarkan sejak tadi. Hening menyelimuti tiba-tiba. Debur ombak menjadi suara latar belakang kami. Matahari yang tepat di atas kepala membuat suasana semakin tegang. Panas. Saya sudah tidak bisa membedakan, mana air yang berasal dari kucuran keringat dan mana yang berasal dari laut. Semuanya bercampur menjadi satu.

Ombak yang kami hadapi memang lebih tinggi daripada biasanya. Setidaknya, lebih tinggi dari yang pernah saya dan Armand tunggangi saat latihan 11 Juni.

Kekhawatiran pun mulai terasa. Reno yang sejak tadi memanggil nama Agung tidak mendapatkan respons sama sekali. ”In position, masih tertinggal di belakang nih,” jawab Agung dari radio komunikasi.

Mendengar hal tersebut, Armand langsung melajukan jet ski-nya untuk menjemput Agung. Naluri kepemimpinannya seolah diuji saat mengetahui salah seorang krunya tertinggal. Sementara itu, Reno memutuskan untuk berhenti dan memberikan tanda di lokasi terakhir tersebut.

Kami menunggu cukup lama. Setengah jam sudah berlalu sepeninggal Armand untuk menjemput Agung. Komunikasi juga belum dilakukan. Sejak tadi Reno yang tetap mencengkeram HT berharap adanya kontak. Ada dua kemungkinan yang berbeda. Armand sudah berhasil mengendalikan keadaan. Atau, keadaan berjalan di luar kendali sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang sempat melakukan kontak.

Lokasi tempat kami berpisah tergolong jauh dari daratan. Ombak yang mengapungkan jet ski kami serasa membuat daratan nun jauh di sana melambai-lambai. Pemandangan Jembatan Suramadu yang terasa megah jika dilihat dari dekat hanya seperti seutas tali dari pandangan kami.

Keruhnya air laut menjadi pemandangan yang biasa. Tak jarang, buih-buih air laut juga tercipta. Bukan karena hantaman ombak yang menghantam laut tenang. Buih tersebut tercipta dari tabrakan air laut dengan sampah yang terapung di lautan. Buih itu membuat perbatasan antara lautan keruh dan lautan lepas yang berwarna biru. Sungguh pemandangan yang sangat memprihatinkan.

Di tengah batas tersebut, sampah tidak lupa menghiasi pemandangan air laut. Mulai ranting pohon berukuran kecil hingga popok bayi yang terapung entah dari mana. Saya serasa bukan menunggangi lautan dengan menggunakan jet ski. Tapi, menunggangi sampah dengan jet ski.

Setengah jam hampir berlalu ketika satu titik menyembul dari permukaan laut. Naik, turun, naik, turun, menciptakan gerakan seirama yang mulai saya hafal. Semakin dekat, titik tersebut mulai memperlihatkan bentuknya. Itu adalah jet ski dengan 200 tenaga kuda yang dikendarai Armand dan Piet. Di belakangnya, jet ski Agung terlihat menyusul dengan pelan. ”Mesinnya tersangkut sampah,” celetuk Armand ketika bersanding dengan jet ski kami.

Banyaknya volume sampah yang menggenangi lautan memang menjadi tantangan tersendiri bagi rombongan jet ski ini. Tidak seperti kapal feri ataupun kapal besar lainnya, baling-baling pendorong jet ski sangat rapuh. Sedikit saja sampah yang masuk bisa mengakibatkan kejadian fatal. Daya dorong hilang. Bisa-bisa jet ski tersebut harus berakhir di bengkel, seperti awal kami melakukan latihan.

Oleh karena itu, jet ski memang harus dikendarai dengan sangat hati-hati. Apalagi melewati perairan yang penuh ”ranjau” seperti ini. ”Nanti kalau sudah sampai Situbondo atau Banyuwangi, sampahnya pasti udah nggak ada. Di sini memang keterlaluan sampahnya,” rutuk Armand yang geram.

Tanda-tanda jet ski yang kemasukan air diawali dengan tarikan gas yang sedikit bermasalah. Saat digas, mesin tidak mau melaju. Mesin pun bisa rusak.

Untuk menghindari itu, Armand memutuskan untuk menarik jet ski. ”Kita balik ke Poras (Poras Ditpolairud Polda Jatim, Red). Untuk sementara kita undur dulu,’’ tutur pria yang menggemari olahraga ekstrem sejak umur 19 tahun itu.

Jarak yang dia tempuh saat itu sudah mencapai 15 mil. Untuk kembali ke Poras Ditpolair, otomatis jarak yang ditempuh harus dikalikan dua. Sudah setengah jalan kami tempuh saat itu. Namun, apa daya, salah satu jet ski harus diperbaiki dengan segera.

Agung yang tidak bisa mengendarai jet ski-nya pun harus dievakuasi secepatnya. Armand berpikir keras untuk melakukan evakuasi. Sebab, jarak daratan dan tempat mereka berhenti masih lumayan jauh.

Untungnya, kondisi sedarurat apa pun sudah dia persiapkan sejak berada di darat. Tidak hanya membawa alat komunikasi dan penentu arah, dia juga menyiapkan beberapa perangkat yang terkesan tidak penting di awal. Tali berukuran sekitar 1 kilometer ditaruh di bagasi. ”Ikatkan talinya ke setir jet ski yang dikendarai Agung,” ujarnya.

Satu per satu mereka berbagi tugas. Armand memegang kendali. Piet van Kempen yang membonceng bertugas mengikat tali di bagian belakang jet ski-nya. Sementara itu, Agung harus mengikatkan tali yang dia terima ke setir. Saya dan Reno hanya menonton di tengah suasana kalut.

Tidak sampai lima menit, masalah pun teratasi. Tali yang mereka bawa diikatkan ke bagian setir jet ski yang dikendarai Agung. Ujung tali sisi satunya dikaitkan ke bagian belakang jet ski milik Armand.

Jet ski yang dikendarai Agung pun diseret kembali menuju ke daratan. Dengan kecepatan tinggi, mereka sampai di daratan dengan waktu yang lebih singkat.

Ketika dibongkar, sampah yang menyangkut di mesin jet ski itu tidak seberapa banyak. Hanya satu kantong plastik swalayan berukuran kecil dan satu bungkus mi instan. Namun, hal tersebut cukup membuat seluruh kru kelimpungan. ”Ini kalau tidak segera diperbaiki, nanti mesinya rusak lagi,” terang ayah tiga anak tersebut.

Satu jam sudah berlalu, jet ski yang tersangkut sampah itu kembali bisa beroperasi. Jam menunjukkan pukul 12.00 ketika mesin jet ski tersebut sudah diperbaiki. Kami pun memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanan yang tersisa. Siang itu, kami menempuh 60 mil perjalanan.

Tiga jam perjalanan kami lalui. Akhirnya, kami sampai di kawasan Mlandingan, Situbondo, tepat pukul 15.00. Sungguh hari pertama yang sangat berat dalam perjalanan ke Labuan Bajo. (*/bersambung/c6/dos)

Sumber: jawapos.com


Demikianlah Artikel Terjang Ombak 2 Meter di Bawah Suramadu

Sekianlah artikel Terjang Ombak 2 Meter di Bawah Suramadu kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Terjang Ombak 2 Meter di Bawah Suramadu dengan alamat link https://petuahmuda.blogspot.com/2017/06/terjang-ombak-2-meter-di-bawah-suramadu.html
Powered by Blogger.